Sunday 28 February 2010

Ziarah Kubur

Sumber: www.eramuslim.com
Assalamu alaikum
Ustadz yang semoga selalu dirahmati ALLAH, saya mau bertanya berhubungan dengan mayat.
1. Bagaimana cara mendoakan mayat yang baru meninggal secara syar'i? Apakah membaca surat Yasin selama 7 hari berturut-turut yang pahalanya ditujukan kepada mayat diperbolehkan?
2. Bagaimana cara ziarah kubur yang benar? Haruskah kita membaca dzikir atau membaca surat pilihan dari Al-Quran (surat Yasin misalnya)? Adakah waktu-waktu tertentu disunahkan untuk ziarah kubur? Bulan Romadhon misalnya.
Jazzakumullah khoiron katsiron
Wassalamu alaikum,
Azizah
zizah
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ziarah kubur termasuk ibadah yang pada awalnya diharamkan, namun kemudian dianjurkan dalam agama. Pengharaman ziarah kubur sebelumnya disebabkan para shahabat masih baru saja meninggalkan pola kepercayaan jahiliyah, yang salah satu bentuknya seringkali meminta-minta kepada kuburan.
Padahal perbuatan itu termasuk perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni bila terbawa mati dan belum bertaubat. Termasuk kebiasaan mereka mengkeramatkan kuburan serta melakukan berbagai ritual lainnya yang hukumnya haram.
Namun ketika para shahabat sudah lebih kental keimanannya, lebih dewasa cara berpikirnya serta sudah tidak ingat lagi masa lalunya tentang ritual aneh-aneh terhadap kuburan, maka Rasulullah SAW pun membolehkan mereka berziarah kubur. Dalam hal ini, beliau bersabda:
عن بُرَيْدَة قَالَ: قَالَ رسول الله كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عن زِيَارَةِ القُبُورِ فَزُوروها رواه مسلم وفي رواية: فَمَنْ أرَادَ أنْ يَزُورَ القُبُورَ فَلْيَزُرْ ؛ فإنَّهَا تُذَكِّرُنَا الآخِرَةَ
Dari Buraidah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dahulu aku larang kalian untuk berziarah kubur, sekarang silahkan berziarah." (HR Musim)
Dalam riwayat yang lain: Siapa yang ingin berziarah kubur, hendaklah berziarah. Karena berziarah kubur itu mengingatkan akhirat.
Ketika kemudian ziarah kubur dibolehkan bahkan dianjurkan, maka tujuannya ada dua, yaitu:
1. Sebagai Sarana Zikrul Maut (Mengingat Kematian)
Setiap muslim harus sering-sering mengingat-ingat kematian. Sebab semua kehidupan ini akan berujung kepada kematian. Dan kematian itu pasti akan datang, cepat atau lambat. Dengan mengingat mati, maka orang-orang akan merasa takut kepada Allah, takut atas dosa-dosa serta tidak berani melanggar larangan agama.
Dengan mengingat mati, seseorang akan hidup dengan cara yang lurus, istiqamah, tidak mau bikin masalah dengan orang lain, jujur, bersih, menjaga diri dari perbuatan haram, tidak selalu mengejar kekayaan duniawi, atau kebesaran nama, atau kebanggaan. Bahkan manusia akan semakin rukun terhadap sesama, saling tolong dan saling menjaga.
Mengingat mati adalah sebuah obat sekaligus solusi jitu buat jiwa-jiwa yang susah diberi pelajaran. Buat mereka yang masih suka membandel dan tidak pernah mau menerima nasehat.
Maka berkunjung ke kuburan, seharusnya bisa membuat seseorang segera berpikir bahwa dirinya akan masuk ke dalam liang sempit itu suatu hari nanti. Dia harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya sendirian, tidak ada penolong, tidak ada asisten, tidak ada pembela.
Karena itulah Rasulullah SAW pada akhirnya menganjukan para shahabat berziarah kubur.
2. Mendoakan Ahli Kubur
Selain itu berziarah kubur bertujuan untuk mendoakan ahli kubur, agar diringankan siksanya atau ditambahkan kenikmatannya di alam barzakh.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kesunnahan mendoakan orang yang sudah wafat. Dan bahwa doa itu bisa sampai kepada mereka serta berpengaruh atas nasib yang mereka alami. Tidak hanya doa dari anaknya, tapi dari siapa saja yang mendoakan.
Dan salah satu hujjahnya adalah adanya syariat shalat jenazah, yang intinya juga mendoakan jenazah tersebut. Shalat dan doa itu akan sampai kepada jenazah di alam barzakhnya. Dan shalat jenazah itu bukan hanya buat anak-anak almarhum saja, tetapi disunnahkan kepada seluruh manusia, kenal atau tidak kenal, saudara atau bukan. Dan Seluruh ulama sepakat dengan hal ini.
Khilaf Dalam Masalah Pengiriman Pahala
Yang seringkali diperdebatkan bukan masalah mendoakan orang mati, tetapi masalah pengiriman pahala ibadah orang yang masih hidup untuk di'transfer' kepada orang yang sudah mati.
Sebagian ulama menyatakan bahwa pahala yang didapat seseorang dari Allah SWT karena dia melakukan suatu perbuatan baik, tidak bisa dipindah-pindahkan ke orang lain. Sebagian lagi membedakan antara pahala yang bersifat ibadah maliyah (terkait dengan harta) dengan yang bukan. Mereka mengatakan kalau ibadahnya bersifat maliyah, pahala bisa dipindah-pindakan kepada orang lain. Dan ulama lainnya mengatakan bahwa segala bentuk ibadah apapun, baik maliyah atau bukan, semua bisa dipindahkan kepada orang lain.
Dengan adanya perbedaan pendapat di atas, maka urusan membaca Al-Quran dengan niat pahala dikirimkan kepada jenazah yang sudah wafat, otomatis menjadi masalah khilafiyah di kalangan para ulama. Sebagian mereka mengatakan tidak ada gunanya baca yasin, zikir dan tahlil bila diniatkan agar pahalanya bisa disampaikan kepada orang meninggal. Karena pahala tidak bisa ditransfer.
Sedangkan yang lainnya mengatakan bisa disampaikan. Karena pahala adalah hak setiap orang, maka tiap orang berhak untuk memberikannya kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Waktu dan Cara Ziarah Kubur
Dari segi waktu, tidak ada perintah khusus untuk berziarah kubur di bulan tertentu. Kebiasaan masyarakat berziarah kubur pada saat menjelang datangnya bulan Ramadhan jelas tidak ada dasar syariatnya. Sebab baik nabi SAW maupun salafush-shalih tidak pernah menyebut-nyebut hal itu.
Kalau ziarah kubur menjelang Ramadhan diyakini sebagai sebuah ritual yang bersifat kewajiban baku, maka hal itu menjadi sebuah bid'ah yang diada-adakan.
Demikian juga pada hari raya Iedul Fithri, kebiasaan sebagian masyarakat justru berziarah kubur. Padahal momen Iedul Fithri seharusnya untuk bersenang-senang. Sampai puasa pun diharamkan. Lalu mengapa justru di saat berbahagia seperti itu malah datang berziarah ke kuburan? Ini termasuk 'keanehan' umat kita yang sudah berjalan turun-temurun, tidak tahu siapa yang memulainya, yang jelas ciri khasnya adalah ikut-ikutan tanpa dasar dan tanpa ilmu.
Termasuk di antara bentuk ikut-ikutan yang tidak ada dasarnya adalah ritual tabur bunga di kuburan, berpakaian hitam-hitam, termasuk berkacamata hitam. Termasuk larangan wanita haidh masuk ke areal kuburan.
Di antara doa ketika berziarah kubur adalah hadits berikut ini:
وعن بريدة ، قَالَ: كَانَ النبيُّ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى المَقَابِرِ أنْ يَقُولَ قَائِلُهُمْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أهلَ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنينَ وَالمُسلمينَ ، وَإنَّا إنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ للاَحِقونَ ، أسْألُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ رواه مسلم
Dari Buraidah RA berkata bahwa Rasulullah SAW mengajarkan mereka bila pergi ke kuburan: Salam kepada kalian wahai ahli kubur dari kalangan mukminin dan muslimin. Dan insyaallah kami akan menyusul. Aku meminta al-'afiyah kepada Allah untuk kami dan kalian." (HR Muslim)
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber: www.syariahonline.com
JAWABAN MEMBACA ALQURAN DI PEKUBURAN

Pertanyaan:

Tentang Membaca Al Qu'an di Pekuburan

Pertanyaan:
Aassalamu'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustad yg di rahmati Allah, mohon kami kejelasan sehubungan dengan jawaban tentang membaca Al Qur'an di Pekuburan kok yg saya tahu seperti yg tertera di artikel berikut :

Bacaan Surat Yasin Bukan Untuk Orang Mati
Rabu, 7 Februari 2007 14:21:46 WIB
Kategori : Ar-Rasaa-il Hukum

BACAAN SURAT YASIN BUKAN UNTUK ORANG MATI


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

HADITS PERTAMA

“Artinya : Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.”
[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]

Keterangan: HADITS INI LEMAH

Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).

HADITS KEDUA

“Artinya : Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.

Keterangan: HADITS INI PALSU

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/)91 dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.

Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).

Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yang BATHIL.”

Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits.”

Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”

Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).

Penjelasan Hadits-Hadits Di Atas.
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika berziarah ke pemakaman kaum Muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan bahwa semua hadits-hadits yang menganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang PALSU, sebagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah berbuat BID’AH. Dan telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerangkan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur'an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.

Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)

Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketika Ada Orang yang Sedang dalam Keadaan Naza’

Pertama
Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar ia (orang yang akan mati) mengucapkan “(Laa Ilaaha Illallah).”

Dalilnya:

"Artinya : Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada orang yang hampir mati dari an-tara kalian.”

Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117), an-Nasa'i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445), al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.” [ Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.]

Kedua
Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepada mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.

Dalilnya:

"Artinya : Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’” [Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.]

SUNNAH-SUNNAH NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM KETIKA BERZIARAH KE PEMAKAMAN KAUM MUSLIMIN

Pertama
Mengucapkan salam kepada mereka.

Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” Beliau men-jawab: “Katakanlah:

"Artinya : Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”

[Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa'i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim]

Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:

"Artinya ; Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”

[Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah (no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah lafazh Ibnu Majah]

Kedua
Mendo’akan dan memohonkan ampunan bagi mereka.

Dalilnya:

"Artinya :Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”
[Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252)]

BACA AL-QUR'AN DI PEMAKAMAN MENYALAHI SUNNAH NABI SHALALLLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para Shahabatnya.

‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur'an disyari’atkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.

Menurut ilmu ushul fiqih:

“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”

Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur'an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang sah tentang masalah itu.

Membaca al-Qur'an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur'an di rumah:


"Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.” [Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahihkannya]

Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur'an, melainkan tempatnya di rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, yang jelas tidak ada bacaan al-Qur'an dan shalat-shalat sunnat di pema-kaman.

Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur'an di pemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:

Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”

Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (hal. 380), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 191-192).


PAHALA BACAAN AL-QUR'AN TIDAK AKAN SAMPAI KEPADA SI MAYYIT

Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
"Artinya : Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [An-Najm: 53]

Beliau t berkata:

“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur'an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.

Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabatpun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”

Periksa: Tafsir Ibni Katsir (VI/33), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.

Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).

Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.

Allah berfirman tentang al-Qur'-an:

“Artinya : Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]

Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]

Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan melakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, bernadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena) mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”

Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”

Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallaahu a’lam bish shawab.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
MARAJI’
[1]. Al-Qur'anul Karim, serta terjemahannya.
[2]. Tafsir Ibni Katsir, cet. Daarus Salam, th. 1413 H.
[3]. Shahih al-Bukhary.
[4]. Shahih Muslim.
[5]. Sunan Abi Dawud.
[6]. Sunan an-Nasaa-i.
[7]. Sunan Ibni Majah.
[8]. Musnad Imam Ahmad.
[9]. Sunanul Kubra’, oleh al-Baihaqy.
[10]. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim.
[11]. Syu’abul Iman, oleh Imam al-Baihaqy.
[12]. Dha’if Jami’ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[13]. Misykatul Mashabih, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[14]. Al-Kamil fii Dhu’afaa-ir Rijal, oleh Imam Ibnu ‘Ady.
[15]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
[16]. Lisanul Mizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[17]. Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.
[18]. Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[19]. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid, oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.

Mohon maaf sebesar-besarnya untuk kami yg masih awam. Terima kasih

Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

Ira Listyosari


Ira Listyosari

Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
tentang membaca Alquran di pekuburan memang para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Sementara ulama seperti kalangan Hanafi, Syafii, dan Hambali mmbolehkan bahkan dianjurkan. Dalilnya adalah hadis marfu riwayat Anas yang berbunyi, "Siapa yang masuk ke pekuburan lalu membaca surat Yasin, Allah akan meringankan hisab orang-orang yang dikubur dan si pembaca itu sendiri akan mendapatkan pahala sejumlah orang yang dikubur di dalamnya." (Disebutkan oleh al-Zubaydî dalam Ithâf al-Sâdah 10/173).
Juga, diceritakan bahwa Ibn Umar pernah berwasiat bahwa apabila telah dikubur agar dirinya dibacakan ayat-ayat permulaan surat al-Baqarah dan penutupnya.

Kami juga mengatakan bahwa ada pandangan berbeda yang disampaikan oleh kalangan Mâliki. Menurut mereka makruh hukumnya membaca Alquran di hadapan orang yang sedang sakarat dan di pekuburan. lengkapnya Anda bisa melihat di kitab Maushu'ah Fiqhiyyah, jilid 32.

Perbedaan pendapat juga muncul terkait dengan pahala membaca Alquran kepada orang yang telah mati. Ada yang mengatakan tidak sampai dan ada yang mengatakan sampai. Anda bisa melihatnya pada jawaban kami lewat penulusuran kata Alquran, pahala, orang mati dan sebagainya. Paling tidak hal itu sebagai penambah wawasan kita tanpa menafikan perbedaan pandangan ulama di dalamnya.

Wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.

Sumber: www.ittutor.net.

Menziarahi Kubur Menurut Islam

Laporan oleh oleh Ustaz Syed Abdillah Aljufri

1) Hukum Menziarahi Kubur

2) Hukum Memberi Takziah

3) Hukum Membuat Dapur-Dapur Kubur

4) Tujuan Menziarahi Kubur

5) Adab Menziarahi Kubur

6) Ziarah Kubur Pada Hari Raya

1) Hukum Menziarahi Kubur

PADA zaman permulaan Islam berkembang, Nabi Muhammad saw melarang kaum
Muslimin menziarahi perkuburan. Larangan ini disebabkan kekhuatiran
terhadap timbulnya kepercayaan lama mereka kepada berhala atau sebarang
lambang
keberhalaan. Tetapi kemudiannya, Nabi saw membenarkan pula mereka
menziarahinya. Ini kerana iman dan keyakinan mereka terhadap Islam
telah mantap. Nabi saw pernah bersabda yang bermaksud:

"Dahulu saya pernah melarang kamu menziarahi kubur tetapi sekarang
boleh kamu menziarahinya, kerana menziarahi kubur itu boleh menimbulkan
sifat
zuhud terhadap dunia dan ingat kepada akhirat."

Kebanyakan ulama' mengambil kesimpulan daripada hadis ini bahawa hukum
menziarahi kubur adalah sunat bagi kaum lelaki dan makruh bagi kaum
perempuan.

Hukum sunat bagi kaum lelaki sudah jelas, iaitu mengingatkannya tentang
akhirat. Tetapi hukum makruh bagi kaum perempuan pula besar kemungkinan
kerana biasanya kaum perempuan lemah semangat dan terlalu beremosi.
Mereka akan merasa terlalu sedih mengingatkan orang yang mereka kasihi
telah
meninggal, lebih-lebih lagi kalau pemergiannya secara mengejut atau
terlibat dalam kemalangan d an sebagainya, maka dikhuatiri perasaan
sedih
mereka
akan membawa kepada penyesalan terhadap takdir Allah swt.

2) Hukum Memberi Takziah

Oleh kerana 'kematian' itu satu kepastian yang tidak dapat dielakkan
oleh setiap insan, setiap insan pasti mati, hanya sebabnya sahaja yang
berlainan.

Manusia harus menerima hakikat ini. Oleh sebab itu, hukum memberi
takziah kepada keluarga yang ditimpa musibah maut ini dihadkan hanya
tiga
hari
sahaja. Lebih dari itu, tidak disunatkan lagi kita memberi takziah
kerana ia hanya akan menimbulkan kesedihan sahaja.

3) Hukum Membuat Dapur-Dapur Kubur

Sebelum diperkatakan cara enziarahi kubur yang dibenarkan oleh Islam
perlu juga diketahui hukum membuat dapur-dapur kubur itu. Menurut yang
afdal
dalam Islam, kubur seseorang Muslim/Muslimah itu hendaklah ditinggikan
sejengkal dari dataran bumi dan diratakan bahagian atasnya dan
ditandakan
dengan
sesuatu tanda untuk dikenali supaya mudah diziarahi. Ini pernah
ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw apabila Baginda ditanya mengapa
Baginda
meletakkan tanda di kubur saudara susuannya Othman Bin Maz'un. Baginda
menjawab
yang bermaksud: "supaya saya kenal kubur saudara saya."

Dari sinilah timbulnya kebiasaan meletakkan nisan. Tetapi apa yang
dilarang
dalam Islam ialah
terlalu sangat menghias kubur dengan dapur-dapur daripada batu mozek,
marmar dan sebagainya kerana ini merupakan suatu pembaziran. Adalah
lebih
baik
jika lebihan wang yang hendak digunakan untuk tujuan ini disedekahkan
kepada
fakir miskin atau melakukan amal jariah yang lainnya.

Kalau mayat itu ditanam di perkuburan wakaf adalah haram mengambil
kawasan yang tidak perlu bagi satu-satu kubur kerana ini boleh
mengurangkan
kawasan untuk ditanam mayat yang lain. Jadi untuk mengenal kubur
ibu-bapa,
suami/isteri dan kaum kerabat kita cukuplah mengawal tanah kubur jangan
sampai terpersok atau hilang atau susah diken ali, iaitu sekadar
membuatnya secara mudah dan tidak banyak menghabiskan perbelanjaan.

Walau bagaimanapun kubur yang tidak dapat dikesan lagi dan tidak dapat
diziarahi akan mendapat rahmat yang lebih daripada Allah swt.
Sebagaimana yang pernah diriwayatkan daripada Nabi Muhammad saw yang
bermaksud
'Allah merahmati kubr yang tidak dikenali.'

Sehubungan dengan ini menulis ayat-ayat suci di batu-batu kubur,
bukanlah
satu suruhan Islam. Malah, ianya terlarang kerana tulisan-tulisan akan
terdedah kepada pencemar an, kerana
biasanya tulisan-tulisan ayat di paras kaki orang yang berdiri di
pinggir
kubur
itu dan kemungkinan ada pula orang duduk di pinggir batu itu, perkara
ini
adalah dilarang.

4)Tujuan Menziarahi Kubur

Seseorang yang ingin menziarahi kubur hendaklah berniat yang benar dan
ikhlas kerana Allah swt semata-mata iaitu untuk melembutkan hati,
mengingatkan akhirat dan mengenang jasa si mati atau kelebihannya di
sisi All ah. Begitu pula apabila menziarahi kubur atau makam para nabi
dan
para wali, lebih-lebih lagi makam Nabi Muhammad saw yang begitu besar
jasanya bukan sahaja kepada umat Islam malah kepada alam semesta kerana
Allah
swt sendiri telah menerangkan dengan firmanNya yang
bermaksud: 'tidak Kami utusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi
sekalian alam'.

Maka dengan niat yang baik inilah kita menziarahi perkuburan kaum
Muslimin dan permakaman para awlia, anbia dan mursalin. Apa yang
dilarang
dalam
menziarahi perkuburan ini ialah meminta sesuatu hajat kepada yang mati
itu atau memujanya seperti pemujaan terhadap berhala. Tetapi dengan
bertawassul dengan mereka yang salih itu dan meminta kepada Allah
rabbul
a'lamin
tidaklah terlarang menurut fahaman ahlissunnah wa jamaah.

5)Adab Menziarahi Kubur

Apabila kita masuk ke suatu tanah perkuburan Islam, hendaklah kita
mengucapkan salam dengan berkata: "Assalamualaikum dara qaumin
mukminin, antumussabiqun wa nahnulahiqun yaghfirullahu lanaa wa dan
kamlakum."

(Sejahtera atas kamu penghuni tempat kaum Mukminin. Kamu telah
mendahului dan kami akan menyusul kamu. Semoga Allah mengampuni kami .)

Kemudian tujuilah kubur yang hendak diziarahi itu dan berdiri atau
duduk di hadapannya dengan mengadap kepadanya (membelakang kiblat)
serta
memberi
salam kepadanya. Walaupun mayatnya sudah lama dan sudah hancur tetapi
yang penting rohnya ada dan tahu siapa yang menziarahinya. Ini diambil
dari
sabda Nabi Muhammad saw yang bermaksud: "Sesiapa yang memberi salam
kepadaku
Allah akan mengembalikan rohku dan akan menjawab salamnya".

Kalau ini diberikan kepada Nabi Muhammad saw maka tidak mustahil
diberikan
kepada umat oleh
sebab itu disunatkan kita menziarahi kubur. Kemudian, bacakanlah
ayat-ayat Al Quran yang mudah dibaca dan minta kepada Allah disampaikan
pahala
bacaan itu kepada roh si mati. Kita juga diingatkan supaya jangan
menyesali
apa yang telah berlaku, apa lagi untuk meraung dan meratap, kerana ini
adalah haram hukumnya.

6) Ziarah Kubur Pada Hari Raya

Tidak ada sebarang dalil yang terang tentang menziarahi kubur pada pagi
Hari Raya. Ini hanya merupakan amalan kebiasaan orang-orang Islam kita
di
sini.Mungkin mereka berpendapat bahawa kerana pada hari raya kita
menziarahi
kaum kerabat dan sahabat handai kita yang hidup maka eloklah kita
menziarahi
juga yang sudah meninggal dunia.

Ziarah pada waktu khusus seperti yang berlaku pada Hari Raya boleh
menyebabkan dosa kalau kita menganggapnya sebagai satu suruhan agama
padahal tidak ada sebarang suruhan menziarahi kubur pada hari yang
tertentu.


Lebih-lebih lagi kalau penziarahan itu merupakan sebagai
satu temasya dengan sebab yang berkunjung memakai pakaian yang
berwarna-warni serta membawa bunga untuk diletakkan di atas kubur,
penjualan minuman
dan sebagainya, inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad saw berdasarkan
sabdanya yang bermaksud: "Jangan kamu jadikan kuburku sebagai tempat
berhari
raya".

Begitulah juga larangan ini mencakup kubur sesiapa pun. Dengan ini
jelas menziarahi kubur pada Hari Raya secara khusus itu tidak ada
sandarannya
dalam Islam.

م
Hukum Dan Adab Ziarah Kubur Bagi Wanita
Muhammad Ali bin Ismail Piliang Al Medani
[MUSLIMAH XXV/1418/1998/KAJIAN KITA]

Ziarah kubur merupakan perkara yang disyariatkan dalam agama kita dengan tujuan agar orang yang melakukannya dapat mengambil pelajaran dengannya dan dapat mengingat akhirat. Syaratnya adalah dengan tidak mengatakan di sisi kuburan tersebut ucapan-ucapan yang bisa membuat Allah Subhanahu wa Ta'ala murka, seperti berdoa kepada si ‘penghuni’ kuburan, memohon pertolongan kepadanya, memberi tazkiyah (jaminan) kepada penghuni kuburan, dan memastikan dia masuk Surga atau sejenisnya. (Ahkamul Janaiz halaman 227)
Sebelum kita berbicara tentang adab ziarah kubur bagi wanita, terlebih dahulu perlu sekali kita tahu hukumnya. Boleh atau tidak? Sebab tidak ada gunannya kita berbicara tentang adab bagi wanita kalau ternyata hukum syariat tidak membolehkannya.
Sunnahnya Ziarah Kubur
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian. Karena ziarah kubur akan mengingatkan kepada akhirat. Dan hendaklah berziarah itu menambah kebaikan buat kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah silakan berziarah dan janganlah kalian mengatakan perkataan yang bathil (hujran).” (HR. Muslim, Abu Dawud, Al Baihaqi, An Nasa’i, dan Ahmad)
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Majmu’ 5/310 : “Hujran artinya ucapan yang bathil. Larangan pertama (untuk ziarah kubur, pent.) karena masih barunya mereka meninggalkan kejahiliyahan dan mungkin karena mereka suka mengatakan ucapan jahiliyah. Maka ketika telah kokoh dasar-dasar Islam, kuat hukum-hukumnya, dan menyebar tanda-tandanya, dibolehkan berziarah bagi mereka.”
“Tidak diragukan lagi bahwa apa yang dilakukan orang-orang awam dan selainnya ketika berziarah dengan berdoa kepada si mayit, beristighatsah kepadanya, dan meminta kepada Allah dengan haknya mayit adalah ucapan bathil (hujran) yang paling besar. Maka wajib bagi ulama untuk menjelaskan hukum tentang itu. Juga menjelaskan cara ziarah yang sesuai dengan syariat kepada mereka dan tujuan ziarah itu.” Demikian yang ditegaskan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz halaman 227.
Imam Shan’ani rahimahullah menyatakan dalam Subulus Salam 2/162 setelah menyebutkan hadits-hadits tentang ziarah dan hikmahnya : “Semuanya menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur dan menerangkan hikmahnya yaitu untuk mengambil pelajaran … . Dan jika kosong dari hal ini (maka) tidak terpenuhi tujuan syariat.”
Sebenarnya masih banyak lagi hadits tentang ziarah kubur namun kami cukupkan penyebutan satu hadits di atas.
Wanita Sama Dengan Pria Dalam Disunnahkannya Ziarah Kubur
Tentang persamaan hukum ziarah kubur antara wanita dan pria ini, Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz halaman 229 menyatakan : [ Itu karena beberapa bentuk atau sisi :
Pertama, karena keumuman perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “ … maka berziarahlah kalian ke kubur.” Berarti wanita juga termasuk di dalamnya. Penjelasannnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tatkala melarang ziarah kubur pada awalnya tidak diragukan lagi bahwa larangan itu juga mencakup pria dan wanita sekaligus. Maka ketika beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Aku dulu melarang kalian berziarah ke kubur.” Dipahami bahwa yang dimaukan beliau adalah jenis pria dan wanita secara pasti. Dan beliau memberikan khabar kepada mereka tentang awal kejadian dengan melarang pria dan wanita. Jika perkaranya demikian, maka pasti ucapan kedua (yakni pembolehan) juga mencakup jenis pria dan wanita. Dan yang menguatkan pendapat ini adalah lanjutan dari hadits tersebut yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu : “Dulu aku melarang kalian tentang daging sembelihan yang lewat tiga hari maka peganglah apa-apa yang tampak pada kalian. Dulu aku juga melarang nabiz untuk diminum maka minumlah sekarang semuanya dan jangan meminum yang memabukkan.” Saya (Al Albani) katakan : Ucapan semua ini juga berlaku terhadap dua jenis (yakni pria dan wanita) secara pasti, sebagaimana ucapan pertama : “Dulu aku melarang kalian.” Jika ada yang berkata, ucapan dalam kalimat “sekarang berziarahlah” adalah khusus untuk pria maka akan rusak susunan bahasa dan keindahannya. Juga tidak pantas hal itu ditujukan kepada pemilik ucapan (Jawami’ul Kalim) yang singkat padat ini. (Jawami’ul Kalim yakni Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Kedua, saling berserikatnya para wanita dengan pria dalam ‘illat (penyebabnya) yang karena itu disyariatkan ziarah kubur yaitu dalam riwayat : “Karena ziarah kubur bisa melunakkan hati, meneteskan air mata, dan mengingatkan kepada akhirat.”
Ketiga, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membolehkan bagi wanita untuk berziarah ke kuburan. Dalam dua hadits yang dihapal oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah radliyallahu 'anha disebutkan :
Dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah ia berkata : Sesungguhnya ‘Aisyah pulang dari pekuburan pada suatu hari. Maka aku bertanya kepadanya : “Wahai Ummul Mukminin, darimanakah engkau?” Ia menjawab : “Dari kuburan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar.” Maka aku katakan kepadanya : “Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melarang ziarah kubur?” Ia menjawab : “Benar, tapi kemudian beliau menyuruh berziarah ke kubur.” (HR. Hakim, Al Baihaqi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Majah, dan Ibnu Abi Dunya. Al Hakim mendiamkan hadits ini. Adz Dzahabi berkata shahih, Al Bushiri berkata dalam Az Zawaid 1/988 : Sanadnya shahih, rijalnya tsiqat. Saya (Al Albani) berkata : Hadits ini keadaannya memang seperti yang mereka berdua katakan)
Dari Muhammad bin Qais bin Makramah bin Al Muththalib, ia berkata pada suatu hari : Maukah kalian kuceritakan tentangku dan tentang ibuku? Maka kami mengira dia memaksudkan ibu yang melahirkannya. Dia berkata : ’Aisyah pernah berkata : “Maukah kalian aku ceritakan tentangku dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam?” Maka kami menjawab : “Tentu.” ‘Aisyah lalu berkata : Ketika pada malam giliranku, beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ada bersamaku. Beliau berbalik meletakkan selendang dan melepaskan dua sandalnya serta meletakkannya di bawah kakinya. Kemudian membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidur. Lalu berbaring. Tidak berapa lama setelah itu beliau mengira aku telah tidur. Maka beliau memakai selendang dan sandalnya secara pelan-pelan. Setelah itu beliau membuka pintu dan menutupnya kembali dengan pelan. Maka akupun melepas pakaian rumah dan memakai tutup kepala serta bertopeng dengan sarungku. Lalu pergi membuntuti beliau sampai tiba di Baqi’. Beliau tegak dengan lama di tempat itu dan mengangkat kedua tangannya tiga kali. Kemudian beliau berpaling (berbalik untuk kembali ke rumah), akupun berpaling. Beliau berjalan cepat, aku juga berjalan cepat. Beliau berlari, aku juga berlari. Hingga beliau akan sampai (ke rumah), aku juga demikian. Maka akupun mendahului beliau lalu masuk ke rumah dan berbaring. Kemudian beliau masuk dan berkata : “Ada apa denganmu, wahai ‘Aisyah? Seakan-akan isi perutmu terangkat karena berlari cepat?” Aku menjawab : “Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah.” Beliau berkata : “Engkau katakan atau Allah yang akan menceritakan sebenarnya kepadaku.” Aku berkata : “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku.” Maka aku ceritakan kejadiannya. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata : “Berarti engkau benda hitam yang kulihat di depanku tadi?” Aku menjawab : “Benar.” Maka beliau memukul dadaku dengan pukulan yang menyakitkanku, lalu beliau bersabda : “Apakah engkau mengira Allah akan berbuat aniaya kepadamu dan Rasul-Nya juga berbuat demikian?” Aku berkata : “Bagaimanapun disembunyikan oleh manusia akan diketahui juga oleh Allah.” Beliau berkata : “Jibril mendatangiku kemudian memanggilku maka aku menjawabnya. Dan dia tidak mau masuk karena ada engkau karena engkau sudah melepas pakaianmu. Aku mengira engkau telah tidur dan aku tidak suka membangunkanmu. Aku khawatir engkau merasa tidak senang. Maka Jibril berkata : ‘Sesungguhnya Rabbmu menyuruhmu datang ke penghuni Baqi’ dan memohonkan ampun untuk mereka’.”
Aku (‘Aisyah) berkata : “Apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kuburan) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Katakanlah :

Semoga keselamatan tercurah bagi para penghuni kuburan ini dari kalangan Mukminin dan Muslimin. Dan semoga Allah merahmati orang yang terdahulu dan orang yang belakangan dari kita. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim, An Nasa’i, Abdurrazzaq, dan Ahmad)
Hadits ini dijadikan dalil oleh Al Hafidh dalam At Talkhish 5/248 tentang bolehnya berziarah bagi wanita. Dan ini adalah dhahir hadits. Hadits ini menguatkan pendapat bahwasanya rukhshah untuk berziarah kubur setelah sebelumnya dilarang juga mencakup para wanita. Dan kisah itu terjadi di Madinah karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah tinggal bersama ‘Aisyah. Sedangkan larangan ziarah kubur terjadi ketika masih di Makkah. Kita tetap menegaskan hal ini walau kita tidak tahu sejarah yang menguatkannya karena kesimpulan yang benar menguatkan hal tersebut yaitu ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Dulu aku melarang kalian.” Sabda Nabi ini tidak bisa dipahami bahwa larangan ziarah kubur ditetapkan di Madinah bukan di Makkah yang memang di sana kebanyakan yang disyariatkan adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan tauhid dan akidah. Dan larangan ziarah ketika itu adalah untuk menutup pintu bahaya (saddudz dzari’ah) menuju kesyirikan dan jelas dicetuskan ketika periode Mekkah sebab para shahabat baru meninggalkan jahiliyah dan baru masuk Islam. Hingga ketika tauhid telah kokoh di dalam hati-hati mereka dan setelah mereka tahu jenis-jenis syirik yang mengakibatkan kerusakan tauhid maka setelah itu beliaupun membolehkan ziarah kubur. Adapun kalau beliau membiarkan mereka selama periode Makkah dalam kebiasaan mereka berziarah kemudian beliau melarang mereka untuk melakukan hal itu di Madinah maka ini jauh sekali dari hikmah syariat. Oleh karena itu kita menetapkan bahwa larangan tersebut dilontarkan ketika masih di Makkah. Jika demikian maka ijin beliau kepada ‘Aisyah untuk berziarah di Madinah adalah dalil yang jelas tentang apa yang kita sebutkan.
Perhatikanlah, karena hal itu membuat sesuatu dalam hati. Dan saya (Al Albani) belum melihat ada yang mensyarah seperti ini. Jika saya benar itu dari Allah, jika salah dari diriku.
Keempat, ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada seorang wanita yang beliau lihat berada di sisi kuburan, dalam hadits Anas radliyallahu 'anhu :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita yang menangis di sisi kuburan maka beliau bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah … .” (HR. Bukhari dan lain-lain)
Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari : “Sisi yang dijadikan argumen dari hadits ini adalah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak mengingkari duduknya wanita tersebut di sisi kuburan dan ucapan beliau adalah hujjah.”
Dalam Al Umdah 3/76, Al ‘Aini rahimahullah berkata : “Dalam hadits ini ada pembolehan ziarah kubur secara mutlak. Sama saja apakah yang berziarah pria atau wanita dan apakah yang diziarahi Muslim atau kafir. Karena tidak adanya pemisahan dalam hal itu.” Al Hafidh juga menyebutkan demikian di akhir ucapannya tentang hadits di atas.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwasanya Jumhur berpendapat ‘boleh’ yakni ziarah kubur bagi wanita. Pengarang Al Hawi (Abul Hasan Al Mawardi rahimahullah) berkata : “Tidak boleh menziarahi kuburan orang kafir.” Dan ini adalah pendapat yang salah. ] (Ahkamul Janaiz halaman 229-234)
Syaikh Mushthafa Al Adawi hafidhahullah dalam Jami’ Ahkamin Nisa’ setelah membawakan alasan kedua belah pihak (yang melarang dan yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita) berkata : [ Kesimpulan dalam hal ini --dan ilmunya hanya pada Allah-- dan melihat dalil-dalil yang membolehkan dan melarang adalah kita berpendapat sebagai berikut :
Pertama : Hadits-hadits yang membolehkan lebih shahih daripada hadits-hadits yang melarang. Dan tidak ada hadits yang kuat dalam melarang kecuali hadits :
“Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang sering ziarah kubur.”
Kedua : Telah diterangkan bahwa lafadh ‘zawwarat’ maknanya adalah wanita yang sering ziarah kubur, maka tidak termasuk di dalamnya wanita yang hanya berziarah sekali-kali.
Ketiga : Hadits : “Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang sering ziarah kubur.” Disebutkan oleh sebagian ulama bahwa hadits ini telah mansukh (dihapus) dengan hadits : “Dulu aku pernah melarang kalian berziarah ke kubur, sekarang berziarahlah, karena ziarah kubur akan mengingatkan kepada akhirat.” Dan wanita jelas juga butuh mengingat akhirat seperti pria.
Keempat : Apa yang dipahami oleh ‘Aisyah radliyallahu 'anha dan dia adalah seorang wanita --bahkan ibu para wanita dan ibu kita (kaum pria)-- yang perintah berkaitan dengan mereka (para wanita) juga menerangkan bahwa Rasulullah mengajarkan apa yang harus diucapkannya jika datang ke kuburan. Dan ‘Aisyah sendiri juga berziarah ke kubur saudaranya. Semua ini menunjukkan bolehnya seorang wanita berziarah ke kubur dan ini menguatkan pendapat yang membolehkan itu. Wallahu A’lam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/580)
LARANGAN BAGI WANITA UNTUK SERING-SERING BERZIARAH
Syaikh Al Albani menyebutkan : [ Akan tetapi tidak boleh bagi para wanita untuk sering-sering berziarah kubur karena itu akan membawa kepada hal-hal yang melanggar syariat, seperti : Berteriak-teriak, tabaruj, menjadikan kubur sebagai tempat pertemuan, dan menyia-nyiakan waktu dengan ucapan-ucapan yang sia-sia sebagaimana tampak pada hari ini di sebagian negeri kaum Muslimin. Insya Allah inilah yang dimaukan dalam hadits yang masyhur :

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dalam riwayat lain : Allah) melaknat wanita-wanita yang sering berziarah ke kubur. (Hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat seperti Abu Hurairah, Hasan bin Tsabit, dan ‘Abdullah bin Abbas radliyallahu 'anhum. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain)
Imam Tirmidzi rahimahullah berkata : “Hadits ini hasan shahih.” Sebagian ulama berpendapat bahwa ini sebelum dibolehkannya berziarah oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ketika ziarah kubur telah diperbolehkan maka masuk dalam kebolehan itu pria dan wanita. Sebagian mereka (ulama) berkata bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memakruhkan wanita untuk berziarah karena kurangnya kesabaran mereka dan sukanya mereka berkeluh kesah. ]
Setelah Syaikh Al Albani rahimahullah membahas tentang lafadh dan beliau berkata : [ Dari takhrij hadits jelas bahwa yang lebih kuat adalah lafadh (yakni wanita yang sering ziarah).
Jika masalahnya demikian, lafadh ini (wanita yang sering ziarah) menunjukkan bahwa yang dilaknat hanyalah wanita yang banyak ziarah sedangkan wanita yang tidak sering ziarah tidak terkena laknat. Maka tidak boleh hadits yang khusus ini membantah hadits-hadits umum yang menunjukkan disunnahkannya ziarah kubur bagi wanita. Masing-masing dari hadits-hadits tersebut diamalkan pada tempatnya. Cara penjama’an (dikompromikan) ini lebih bagus daripada cara naskh (penghapusan salah satunya), dengan cara seperti ini segolongan ulama berpendapat.
Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Laknat yang tersebut dalam hadits adalah bagi wanita yang sering berziarah larena bentuk katanya demikian. Mungkin sebab yang membawa ke sana adalah wanita itu akan menyia-nyiakan hak suami dan bertabaruj serta timbulnya suara jeritan dan sejenisnya. Ada yang berkata : ‘Jika telah aman semua itu, tidak ada halangan untuk mengijinkan mereka karena mengingat mati dibutuhkan oleh pria dan wanita’.”
Dalam Nailul Authar 4/95 Imam As Syaukani rahimahullah berkata : “Dan ini adalah ucapan yang pantas untuk dijadikan pegangan di dalam mengkompromikan hadits-hadits yang bertentangan dalam bab ini secara dhahirnya.” ] (Ahkamul Janaiz 235-237)
Telah berkata Syaikh Mushthafa Al Adawi hafidhahullah : [ Perhatikan :
1. Jika diketahui dari keadaan para wanita kalau mereka pergi ke kubur akan berteriak-teriak, meratap-ratap, dan melakukan bid’ah dan keharaman maka haram ketika itu bagi mereka untuk berziarah ke kubur. Menolak bahaya lebih didahulukan daripada mendapatkan kebaikan.
2. Jika diketahui dari keadaan mereka yang demikian itu bahwa kalau mereka pergi ziarah ke sebagian orang yang dianggap shalih dan wali Allah mereka akan melakukan permohonan untuk dihilangkan bahaya, menunaikan keperluan, dan menghilangkan kesusahan serta yang sejenisnya maka ini adalah syirik. Dan ketika itu diharamkan bagi para wanita untuk berziarah.
3. Jika para wanita pergi dengan tabaruj dan menggunakan parfum maka juga haram bagi mereka untuk keluar ziarah.
4. Jika para wanita mengkhususkan untuk berziarah ke kubur pada hari itu sebagaimana yang terjadi dengan mengkhususkan hari Jum’at dan hari-hari besar atau sejenisnya maka ini termasuk bid’ah yang Allah tidak menurunkan keterangan atasnya. Semoga Allah memberikan bimbingan untuk kita dalam mengikuti Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/581)
Dari keterangan-keterangan di atas jelas bagi kita bahwa dibolehkan bagi para wanita untuk ziarah kubur dengan adab-adab sebagai berikut :
1. Tidak sering-sering.
2. Tanpa bertabaruj.
3. Tidak mengeluarkan kata-kata yang salah, seperti meratap, menjerit-jerit, terlebih lagi melakukan kesyirikan seperti meminta kepada si mayit, beristighatsah kepadanya, dan lain-lain.
4. Menunaikan adab seperti adab wanita Muslimah keluar rumah.
5. Mengambil pelajaran dan untuk mengingat akhirat. Dan dibolehkan bagi wanita berziarah ke kuburan keluarganya yang kafir hanya untuk mengambil pelajaran dengan dalil :
Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berziarah ke kubur ibunya. Kemudian beliau menangis dan tangisan itu membuat orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau berkata : “Aku memohon ijin kepada Allah untuk memohonkan ampunan bagi ibuku tapi Allah menolaknya. Dan aku meminta ijin untuk menziarahi kuburnya maka diijinkan. Berziarahlah kalian ke kubur karena itu akan mengingatkan kepada mati.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan lain-lain)
6. Tidak melakukan bid’ah-bid’ah seperti :
a. Berziarah dengan dikhususkan hari-harinya.
b. Tegak di depan kubur dan meletakkan tangan seperti orang shalat kemudian duduk.
c. Tayammum untuk berziarah.
d. Membaca Al Fatihah untuk si mayit.
e. Membaca surat Yasin untuk si mayit.
f. Bertahlil ketika melewati kubur.
g. Kirim salam kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melalui orang yang berziarah ke kubur beliau.
h. Menghadiahkan pahala kepada si mayit.
i. Menghadiahkan pahala kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
j. Dan lain-lain, yang jelas kalau tidak dicontohkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam ibadah jangan dilakukan.
7. Jika menziarahi kuburan orang kafir jangan mengucapkan salam tapi memberikan kabar dengan neraka kepadanya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Di mana saja engkau melewati kuburan orang kafir berikan kabar gembira dengan neraka kepadanya.” (Lihat As Shahihah : 18)
8. Tidak berjalan di antara kuburan Muslim dengan memakai sandal berdasarkan hadits Basyir bin Khushashiyah yaitu ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melihat ada yang memakai sandal, beliau bersabda :
“Wahai yang memakai sandal dari kulit lemparkanlah keduanya!” Maka orang itu melihat, ketika dia tahu bahwa itu adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dia lepaskan sandalnya dan melemparkan keduanya. (HR. Ashhabus Sunan)
Al Hafidh berkata dalam Fathul Bari 3/160 : “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan di antara kuburan dengan memakai sandal. Ibnu Hazm telah melakukan keganjilan dengan menyatakan diharamkan berjalan di antara kuburan dengan memakai sandal kulit, adapun yang selain itu boleh! Ini adalah kedangkalan berfikir (jumud) yang parah.” (Ahkamul Janaiz halaman 252)
TUJUAN ZIARAH KUBUR
Ziarah kubur memiliki dua tujuan, yaitu :
Pertama, penziarah mengambil manfaat dengan mengingat mati dan orang yang mati. Dan tempat mereka ke Surga atau ke neraka.
Kedua, si mayit mendapat kebaikan dengan perbuatan baik dan salam untuknya serta mendapat doa permohonan ampunan. Dan ini khusus untuk mayat yang Muslim. (Ahkamul Janaiz halaman 239)
DOA-DOA ZIARAH KUBUR
Ada beberapa doa yang shahih yang dituntunkan untuk diucapkan ketika berziarah ke kubur, namun kami cukupkan dengan menyebutkan dua saja di antaranya :

“Semoga keselamatan tercurah bagi kalian wahai penghuni tempat kaum Mukminin. Kami dan kalian serta apa yang dijanjikan besok adalah orang yang ditangguhkan. Dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah ampunilah penghuni kubur … .” (HR. Muslim, Nasa’i, dan lain-lain)

“Semoga keselamatan tercurah kepada penghuni kubur ini dari kalangan Mukminin dan Muslimin dan semoga Allah merahmati orang yang telah duluan dari kami dan yang belakangan dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim dan lain-lain)
(Lihat Ahkamul Janaiz halaman 239-240)
Wallahu A’lam Bis Shawab.


Bolehkah wanita berziarah kubur ?Posted by admin
02/12/2001 4840 clicks

Telah kita ketahui bahwasanya ziarah kubur merupakan hal yang dianjurkan. Apakah anjuran dari Nabi shallallahu waalaihi wa sallam tersebut khusus bagi laki-laki atau juga bagi kalangan wanita ? Lalu bagaimana dengan mengiringi jenazah ketika mayit akan dikebumikan ?
Telah kita ketahui bahwasanya ziarah kubur merupakan hal yang dianjurkan. Apakah anjuran dari Nabi shallallahu waalaihi wa sallam tersebut khusus bagi laki-laki atau juga bagi kalangan wanita ? Lalu bagaimana dengan mengiringi jenazah ketika mayit akan dikebumikan ?


I. ANJURAN UNTUK ZIARAH KUBUR (TERMASUK BAGI WANITA)
Rasulullah shallallahu waalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang ziarahilah kubur [karena yang demikian itu dapat mengingatkan kalian akan akhirat] [dan dengan ziarah kubur dapat menambah kebaikan]. [Barangsiapa yang berkehendak untuk menziarahinya, maka ziarahilah, dan jangan kalian mengucapkan kata-kata yang bathil].(HR. Muslim, Abu Daud, Al-Baihaqi, An-Nasai dan Ahmad)

II. MENGAPA WANITA MASUK DALAM ANJURAN UNTUK ZIARAH KUBUR ?
Anjuran tersebut umum, bagi laki-laki ataupun wanita alasannya:

(1). Keumuman sabda Rasulullah tersebut diatas (tidak dibedakan antara laki-laki & wanita)

(2). illat (sebab) disyariatkannya ziarah kubur yaitu sabda Nabi: ..Karena yang demikian dapat melunakkan hati, membuat meneteskan air mata, serta mengingat akhirat. Yang demikian ini (melunakkan hati, mengingat akhirat) perlu bagi laki-laki maupun wanita.

(3). Nabi telah memberi izin kepada kaum wanita untuk melakukan ziarah kubur, seperta dalam hadits yang dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah ra.

Dari Abdullah bin Abi Malikah ra berkata: Suatu hari aku menjumpai Aisyah dari kuburan, lalu aku bertanya: Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau? Ia menjawab, Dari kubur Abdurrahman bin Abi Bakar ra. Lalu aku bertanya lagi: Bukankah dahulu Rasulullah melarang menziarahi kubur? Aisyah menjawab: Sesungguhnya Rasulullah telah membolehkan untuk menziarahi kubur (HR. Ibnu Majah)

(4) Taqrir (persetujuan sikap/perbuatan) Nabi saw ketika beliau melewati sebuah kuburan dan dilihatnya seorang wanita tengah menangis diatas kuburan, kemudian beliau menasehati: Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. (HR. Bukhari dan lainnya)

Rasulullah saw tidak mengingkari perbuatan ziarah kubur wanita tersebut, beliau hanya menasihatkan agar bertakwa dan bersabar, karena wanita tersebut mengalami kesedihan yang dalam.

III. LARANGAN BAGI WANITA UNTUK TERLALU SERING ZIARAH KUBUR
Diriwayatkan hadits dari banyak sahabat bahwa Rasulullah melaknat wanita-wanita yang sering melakukan ziarah kubur. (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ahmad dan lainnya)

Imam Al-Qurthubi mengatakan: Laknat yang tercantum dalam lafadz hadits itu ditujukan bagi wanita yang SERING melakukan ziarah kubur, melihat lafadz hadits tersebut menggunakan bentuk shiighat mubalaghah (bentuk penyangatan).

Jadi anjuran untuk ziarah kubur berlaku umum bagi laki-laki maupun wanita, adapun larangan wanita untuk terlalu sering ziarah kubur dapat diambil hikmahnya antara lain karena wanita biasanya kurang sabar dan kurang kontrol jika mengalami perasaan yang berat sehingga menimbulkan pelanggaran syariat.

IV. ZIARAH KUBUR SESUAI SYARIAT DAN ZIARAH KUBUR BIDAH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa ziarah kubur ada 2 yaitu ziarah kubur yang sesuai syariat dan ziarah kubur bidah.

(1) Ziarah kubur yang sesuai syariat, yaitu dengan dengan mengucapkan salam bagi ahli kubur dan mendoakannya.
(2) Ziarah kubur bidah, yaitu dengan mendatangi kubur para nabi, orang-orang shalih kemudian berdoa kepada mereka, minta tolong kepada mereka dan yang sejenisnya. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat bahkan hal ini dilarang oleh para ulama-ulama muslimin.(Taisirul Alam)

V. LARANGAN BAGI WANITA MENGIRINGI JENAZAH
Adapun hukum wanita mengiringi jenazah adalah terlarang (larangan ini lebih bermakna penyucian), sebagaimana hadits dari Ummu Athiyah ra: Dahulu kami dilarang (dalam riwayat lain, telah melarang kepada kami Rasulullah) untuk mengiringi jenazah.(HR. Bukhari, Muslim dan lainnya). Allahu taala alam.


Sumber:
1. Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah,karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany. Cetakan Gema Insani Press
2. Taisirul Alam-Syarh Umdatul Ahkam, karya Syaikh Abdullah Bassam.Cetakan Darul Fikr

Sumber: www.perpustakaan-islam.com

MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG SUDAH MENINGGAL Posted by: Editor on Monday, June 05, 2006 - 10:39 PM
Pembahasan berkenaan dengan menghadiahkan pahala bagi orang yang sudah meninggal dan beberapa pendapat yang ada seputar hal tersebut.

MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdo’a dan menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia.

A. PENDAPAT PERTAMA

Hal tersebut tidak diperintahkan agama berdasarkan dalil:

1. Firman Allah surat An-Najm:38-39:

Artinya: “Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

2. Surat Yaasiin:54

Artinya: “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.”

3. Surat Al Baqaraah 286

Artinya: “Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”

Ayat-ayat diatas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:

Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya.” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad).

B. PENDAPAT KEDUA
Membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji sampai kepada mayyit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Al-Quran tidak sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan pendapat Madzhab Malik. Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:

Artinya: “Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum.” (HR An-Nasa’i).

C. PENDAPAT KETIGA
Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:

1. Dalil Al-Quran:

Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a : “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”.” (QS Al Hasyr: 10)

Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.

2. Dalil Hadits
a. dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur. Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Dari Auf bin Malik ia berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah SAW setelah selesai shalat jenazah-bersabda: “Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka”.” (HR Muslim).

Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata: ”Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda: “Mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena seka”rang dia sedang ditanya”.” (HR Abu Dawud)

Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ’Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:

Artinya: “Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur?” Rasul SAW menjawab: “Ucapkan: (Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya -Insya Allah- kami pasti menyusul)." (HR Muslim).

b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit

Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya: “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya?” Rasul SAW menjawab: “Ya”, Saad berkata: “Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya.” (HR Bukhari).

c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum

Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim)

d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji

Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya: "Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya?" Rasul menjawab: “Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.” (HR Bukhari)

3. Dalil Ijma’

a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.

b. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:

Artinya: ”Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR Ahmad)

4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya.

Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Quran dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Al-Quran yang berupa perbuatan dan niat.

Jawaban Terhadap Pendapat Pertama

Firman Allah, surat An-Najm:38-39:

Artinya: “Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orng lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

Dapat dijawab dengan dua jawaban:
1. Bahwa seseorang dengan usaha dan hubungan baiknya mendapatkan banyak kawan dan mempunyai keturunan dan kasih sayang terhadap orang lain. Hal itu mengundang simpatisan orang untuk berdo’a dan menghadiahkan pahala. Itu adalah hasil usahanya sendiri. Bahkan hubungan melalui agama merupakan sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do’a orang Islam dapat bermanfaat untuk orang Islam lain.

2. Al-Quran tidak menafikan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain, yang dinafikan adalah memiliki suatu manfaat yang bukan usahanya. Oleh karena itu Allah menerangkan bahwa manusia tidak memiliki kecuali hasil usahanya sendiri. Adapun usaha orang lain adalah miliknya jika ia mau, ia bisa memberikannya kepada orang lain dan jika tidak mau hasil usahanya itu dia miliki sendiri.

Firman Allah: {ألا تزر وازرة وزر أخرى وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} -Q.S. An-Najm: 38-39- Adalah dua ayat muhkamat yang menunjukkan keadilan Allah SWT. Ayat pertama menjelaskan bahwa Allah SWT tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain. Sedangkan ayat kedua menerangkan bahwa seseorang tidak mendapatkan kebahagaiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Hal ini akan menghapuskan angan-angannya bahwa dia akan selamat karena amal orang-tua dan nenek moyangnya yang terdahulu. Allah SWT tidak menyatakan bahwa dia tidak dapat mengambil manfaat kecuali dari usahanya sendiri.

Sedangkan firman Allah surat Al Baqarah 286: {لها ما كسبت وعليها مااكتسبت}
Dan firman Allah surat Yasiin 54:{فاليوم لا تظلم نفس ولاتجزون إلا ما كنتم تعملون} Menerangkan bahwa seseorang tidak akan disiksa lantaran perbuatan orang lain.

Adapun argumentasi mereka dengan hadits:
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو ولد صالح يدعو له أوعلم ينتفع به من بعده
Adalah argumentasi yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan, karena Rasulullah SAW tidak berkata : انقطع انتفاعه (putuslah pengambilan manfaatnya), namun Rasul saw. mengatakan: انقطع عمله (putuslah amalnya). Adapun amal orang lain adalah miliknya jika orang lain tersebut menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan pahala amalnya, sebagaimana dalam pembebasan utang.

Jawaban Terhadap Jawaban Kedua
Rasulullah SAW menganjurkan puasa untuk menggantikan puasa orang yang telah meninggal padahal ibadah puasa seseorang tidak boleh digantikan orang lain. Begitu juga hadits Jabir ra yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi yang menerangkan bahwa ia pernah shalat ‘Iedul Adha bersama Rasulullah SAW, setelah selesai shalat beliau diberikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya mengucapkan:
بسم الله والله أكبر اللهم هذا عني وعمن لم يضح من أمتي
Artinya: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, ya Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban.”

Dalam hadits ini Rasulullah SAW menghadiahkan pahala qurban untuk umatnya yang tidak mampu berqurban, padahal qurban adalah melalui menumpahkan darah.

Demikian juga ibadah haji merupakan ibadah badaniyah. Harta bukan merupakan rukun dalam haji tetapi sarana. Hal itu karena seorang penduduk Mekah wajib melakukan ibadah haji apabila ia mampu berjalan ke Arafah tanpa disyaratkan harus memiliki harta. Jadi ibadah haji bukan ibadah yang terdiri dari harta dan badan, namun ibadah badan saja.

Kemudian perhatikan juga fardhu kifayah, dimana sebagian orang mewakili sebagian yang lain.

Kemudian persoalan ini, persoalan menghadiahkan pahala, bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi upahnya boleh diberikan kepada orang lain jika ia mau.

Sumber: Pusat Konsultasi Syariah

(YP | PIP PKS-ANZ | pks-anz.org)

No comments:

Post a Comment